Jumat, 05 Agustus 2011

MEMAHAMI ALLOH SWT MAHA PEMBERI REZEKI

kita telah mengetahui bahwa Allah satu-satunya pemberi rizki. Rizki sifatnya umum, yaitu segala sesuatu yang dimiliki hamba, baik berupa makanan dan selain itu. Dengan kehendak-Nya, kita bisa merasakan berbagai nikmat rizki, makan, harta dan lainnya. Namun mengapa sebagian orang sulit menyadari sehingga hatinya pun bergantung pada selain Allah. Lihatlah di masyarakat kita bagaimana sebagian orang mengharap-harap agar warungnya laris dengan memasang berbagai penglaris. Agar bisnis komputernya berjalan mulus, ia datang ke dukun dan minta wangsit, yaitu apa yang mesti ia lakukan untuk memperlancar bisnisnya dan mendatangkan banyak konsumen. Semuanya ini bisa terjadi karena kurang menyadari akan pentingnya aqidah dan tauhid, terurama karena tidak merenungkan dengan baik nama Allah “Ar Rozzaq” (Maha Pemberi Rizki).
Allah Satu-Satunya Pemberi Rizki
Sesungguhnya Allah adalah satu-satunya pemberi rizki, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal itu. Karena Allah Ta’ala berfirman,
“Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi?” (QS. Fathir: 3)
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah: “Allah.” (QS. Saba’: 24)
Tidak ada yang berserikat dengan Allah dalam memberi rizki. Oleh karena itu, tidak pantas Allah disekutukan dalam ibadah, tidak pantas Allah disembah dan diduakan dengan selain. Dalam lanjutan surat Fathir, Allah Ta’ala berfirman,
“Tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah; maka mengapakah engkau bisa berpaling (dari perintah beribadah kepada Allah semata)?” (QS. Fathir: 3)
Selain Allah sama sekali tidak dapat memberi rizki. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberikan rezki kepada mereka sedikitpun dari langit dan bumi, dan tidak berkuasa (sedikit juapun).” (QS. An Nahl: 73)
Seandainya Allah menahan rizki manusia, maka tidak ada selain-Nya yang dapat membuka pintu rizki tersebut. Allah Ta’ala berfirman,
“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Fathir: 2). Itu memang benar, tidak mungkin ada yang dapat memberikan makan dan minum ketika Allah menahan rizki tersebut.
Allah Memberi Rizki Tanpa Ada Kesulitan
Allah memberi rizki tanpa ada kesulitan dan sama sekali tidak terbebani. Ath Thohawi rahimahullah dalam matan kitab aqidahnya berkata, “Allah itu Maha Pemberi Rizki dan sama sekali tidak terbebani.” Seandainya semua makhluk meminta pada Allah, Dia akan memberikan pada mereka dan itu sama sekali tidak akan mengurangi kerajaan-Nya sedikit pun juga. Dalam hadits qudsi disebutkan, Allah Ta’ala berfirman,
“Wahai hamba-Ku, seandainya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan serta semua jin dan manusia berdiri di atas bukit untuk memohon kepada-Ku, kemudian masing-masing Aku penuh permintaannya, maka hal itu tidak akan mengurangi kekuasaan yang ada di sisi-Ku, melainkan hanya seperti benang yang menyerap air ketika dimasukkan ke dalam lautan.” (HR. Muslim no. 2577, dari Abu Dzar Al Ghifari). Mengenai hadits ini, Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadits ini memotivasi setiap makhluk untuk meminta pada Allah dan meminta segala kebutuhan pada-Nya.”[1]
Dalam hadits dikatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah Ta’ala berfirman padaku, ‘Berinfaklah kamu, niscaya Aku akan berinfak (memberikan ganti) kepadamu.’ Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pemberian Allah selalu cukup, dan tidak pernah berkurang walaupun mengalir siang dan malam. Adakah terpikir olehmu, sudah berapa banyakkah yang diberikan Allah sejak terciptanya langit dan bumi? Sesungguhnya apa yang ada di Tangan Allah, tidak pernah berkurang karenanya.” (HR. Bukhari no. 4684 dan Muslim no. 993)
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata, “Allah sungguh Maha Kaya. Allah yang memegang setiap rizki yang tak terhingga, yakni melebihi apa yang diketahui setiap makhluk-Nya.”[2]
Allah Menjadikan Kaya dan Miskin dengan Adil
Allah memiliki berbagai hikmah dalam pemberian rizki. Ada yang Allah jadikan kaya dengan banyaknya rizki dan harta. Ada pula yang dijadikan miskin. Ada hikmah berharga di balik itu semua. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki.” (QS. An Nahl: 71)
Dalam ayat lain disebutkan,
“Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS. Al Isro’: 30)
Dalam ayat kedua di atas, di akhir ayat Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya”. Ibnu Katsir menjelaskan maksud penggalan ayat terakhir tersebut, “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat manakah di antara hamba-Nya yang pantas kaya dan pantas miskin.” Sebelumnya beliau rahimahullah berkata, “Allah menjadikan kaya dan miskin bagi siapa saja yang Allah kehendaki. Di balik itu semua ada hikmah.”[3]
Di tempat lain, Ibnu Katsir menerangkan firman Allah,
“Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 27) Beliau rahimahullah lantas menjelaskan,“Seandainya Allah memberi hamba tersebut rizki lebih dari yang mereka butuh , tentu mereka akan melampaui batas, berlaku kurang ajar satu dan lainnya, serta akan bertingkah sombong.”
Selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan lagi, “Akan tetapi Allah memberi rizki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat manakah yang maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui manakah yang terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan kefakiran bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya.”[4]
Dalam sebuah hadits disebutkan,
“Sesungguhnya di antara hamba-Ku, keimanan barulah menjadi baik jika Allah memberikan kekayaan padanya. Seandainya Allah membuat ia miskin, tentu ia akan kufur. Dan di antara hamba-Ku, keimanan barulah baik jika Allah memberikan kemiskinan padanya. Seandainya Allah membuat ia kaya, tentu ia akan kufur”.[5] Hadits ini dinilai dho’if(lemah), namun maknanya adalah shahih karena memiliki dasarshahih dari surat Asy Syuraa ayat 27.
Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina
Ketahuilah bahwa kaya dan miskin bukanlah tanda orang itu mulia dan hina. Karena orang kafir saja Allah beri rizki, begitu pula dengan orang yang bermaksiat pun Allah beri rizki. Jadi rizki tidak dibatasi pada orang beriman saja. Itulah lathif-nya Allah (Maha Lembutnya Allah). Sebagaimana dalam ayat disebutkan,
“Allah Maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia memberi rezki kepada yang di kehendaki-Nya dan Dialah yang Maha kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Asy Syura: 19)
Sifat orang-orang yang tidak beriman adalah menjadikan tolak ukur kaya dan miskin sebagai ukuran mulia ataukah tidak. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan mereka berkata: “Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak- anak (daripada kamu) dan Kami sekali-kali tidak akan diazab. Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya). Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikit pun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang Tinggi (dalam syurga).” (QS. Saba’: 35-37)
Orang-orang kafir berpikiran bahwa banyaknya harta dan anak adalah tanda cinta Allah pada mereka. Perlu diketahui bahwa jika mereka, yakni orang-orang kafir diberi rizi di dunia, di akherat mereka akan sengsara dan diadzab. Allah subhanahu wa ta’ala telah menyanggah pemikiran rusak orang kafir tadi dalam firman-Nya,
“Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al Mu’minun: 56)
Bukanlah banyaknya harta dan anak yang mendekatkan diri pada Allah, namun iman dan amalan sholeh. Sebagaiman dalam surat Saba’ di atas disebutkan,
“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikit pun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh.” Penjelasan dalam ayat ini senada dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian” (HR. Muslim no. 2564, dari Abu Hurairah)
Kaya bisa saja sebagai istidroj dari Allah, yaitu hamba yang suka bermaksiat dibuat terus terlena dengan maksiatnya lantas ia dilapangkan rizki. Miskin pun bisa jadi sebagai adzab atau siksaan. Semoga kita bisa merenungkan hal ini.
Ibnu Katsir rahimahullah ketika menerangkan firman Allah,
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka Dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata: “Tuhanku menghinakanku“. (QS. Al Fajr: 15-16); beliau rahimahullah berkata, “Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala mengingkari orang yang keliru dalam memahami maksud Allah meluaskan rizki. Allah sebenarnya menjadikan hal itu sebagai ujian. Namun dia menyangka dengan luasnya rizki tersebut, itu berarti Allah memuliakannya. Sungguh tidak demikian, sebenarnya itu hanyalah ujian. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al Mu’minun: 55-56)
Sebaliknya, jika Allah menyempitkan rizki, ia merasa bahwa Allah menghinangkannya. Sebenarnya tidaklah sebagaimana yang ia sangka. Tidaklah seperti itu sama sekali. Allah memberi rizki itu bisa jadi pada orang yang Dia cintai atau pada yang tidak Dia cintai. Begitu pula Allah menyempitkan rizki pada pada orang yang Dia cintai atau pun tidak. Sebenarnya yang jadi patokan ketika seseorang dilapangkan dan disempitkan rizki adalah dilihat dari ketaatannya pada Allah dalam dua keadaan tersebut. Jika ia adalah seorang yang berkecukupan, lantas ia bersyukur pada Allah dengan nikmat tersebut, maka inilah yang benar. Begitu pula ketika ia serba kekurangan, ia pun bersabar.”[6]
Sebab Bertambah dan Barokahnya Rizki
Takwa kepada Allah adalah sebab utama rizki menjadi barokah. Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan mengenai Ahli Kitab,
“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Rabbnya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. dan Alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.” (QS. Al Maidah: 66)
Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. Al A’rof: 96)
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3)
“Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).” (QS. Al Jin: 16)
“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7)
Sebab Berkurang dan Hilangnya Barokah Rizki
Kebalikan dari di atas, rizki bisa berkurang dan hilang barokahnya karena maksiat dan dosa. Mungkin saja hartanya banyak, namun hilang barokah atau kebaikannya. Karena rizki dari Allah tentu saja diperoleh dengan ketaatan. Allah Ta’ala berfirman,
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar Rum: 41). Yang dimaksudkan kerusakan di sini—kata sebagian ulama– adalah kekeringan, paceklik, hilangnya barokah (rizki). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Yang dimaksudkan kerusakan di sini adalah hilangnya barokah (rizki) karena perbuatan hamba. Ini semua supaya mereka kembali pada Allah dengan bertaubat.” Sedangkan yang dimaksud dengan kerusakan di laut adalah sulitnya mendapat buruan di laut. Kerusakan ini semua bisa terjadi karena dosa-dosa manusia.[7]
Yang Penting Berusaha dan Tawakkal
Keimanan yang benar rizki bukan hanya dinanti-nanti. Kita bukan menunggu ketiban rizki dari langit. Tentu saja harus ada usaha dan tawakkal, yaitu bersandar pada Allah. Dari Umar bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.”[8]
Ibnu ‘Allan mengatakan bahwa As Suyuthi mengatakan, “Al Baihaqi mengatakan dalam Syu’abul Iman:
Hadits ini bukanlah dalil untuk duduk-duduk santai, enggan melakukan usaha untuk memperoleh rizki. Bahkan hadits ini merupakan dalil yang memerintahkan untuk mencari rizki karena burung tersebut pergi di pagi hari untuk mencari rizki. Jadi, yang dimaksudkan dengan hadits ini –wallahu a’lam-: Seandainya mereka bertawakkal pada Allah Ta’ala dengan pergi dan melakukan segala aktivitas dalam mengais rizki, kemudian melihat bahwa setiap kebaikan berada di tangan-Nya dan dari sisi-Nya, maka mereka akan memperoleh rizki tersebut sebagaimana burung yang pergi pagi hari dalam keadaan lapar, kemudian kembali dalam keadaan kenyang. Namun ingatlah bahwa mereka tidak hanya bersandar pada kekuatan, tubuh, dan usaha mereka saja, atau bahkan mendustakan yang telah ditakdirkan baginya. Karena ini semua adanya yang menyelisihi tawakkal.”[9]
Rizki yang Paling Mulia
Sebagian kita menyangka bahwa rizki hanyalah berputar pada harta dan makanan. Setiap meminta dalam do’a mungkin saja kita berpikiran seperti itu. Perlu kita ketahui bahwa rizki yang paling besar yang Allah berikan pada hamba-Nya adalah surga (jannah). Inilah yang Allah janjikan pada hamba-hamba-Nya yang sholeh. Surga adalah nikmat dan rizki yang tidak pernah disaksikan oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah tergambarkan dalam benak pikiran. Setiap rizki yang Allah sebutkan bagi hamba-hamba-Nya, maka umumnya yang dimaksudkan adalah surga itu sendiri. Hal ini sebagaimana maksud dari firman Allah Ta’ala,
“Supaya Allah memberi Balasan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. mereka itu adalah orang-orang yang baginya ampunan dan rezki yang mulia.” (QS. Saba’: 4)
“Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rezki yang baik kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 11)[10]
Jika setiap kita memahami hal ini, yang Allah satu-satunya pemberi rizki dan sungguh Allah benar-benar yang terbaik bagi kita, maka tentu saja kita tidak akan menggantungkan hati pada selain Allah untuk melariskan bisnis. Allah Ta’ala sungguh benar-benar Maha Mencukupi. Allah Maha Mengetahui manakah yang terbaik untuk hamba-Nya, sehingga ada yang Dia jadikan kaya dan miskin. Setiap hamba tidak perlu bersusah payah mencari solusi rizki dengan meminta dan menggantungkan hati pada selain-Nya. Tidak perlu lagi bergantung pada jimat dan penglaris. Gantilah dengan banyak memohon dan meminta kemudahan rizki dari Allah. Wallahu waliyyut taufiq. (*)
Finished on Monday, 2nd Dzulhijjah 1431 H (8/11/2010), in KSU, Riyadh, KSA
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Catatan Kaki:
[1] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Muassasah Ar Risalah, 1419, 2/48
[2] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379, 13/395.
[3] Tafsir Al Qur’an Al ‘zhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 8/479
[4]Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/278.
[5]As Silsilah Adh Dho’ifah no. 1774. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if.
[6] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14/347.
[7] Tafsir Al Qurthubi (Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an), Mawqi’ Ya’sub (sesuai standar cetakan), 14/40.
[8] HR. Ahmad (1/30), Tirmidzi no. 2344, Ibnu Majah no. 4164, dan Ibnu Hibban no. 402. Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no.310 mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Muqbil Al Wadi’i dalam Shohih Al Musnad no. 994 mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[9] Dalilul Falihin, Ibnu ‘Alan Asy Syafi’i, Asy Syamilah, 1/335.
[10] Bahasan dalam tulisan ini, kami kembangkan dari tulisan di web: http://www.dorar.net/enc/aqadia/1241, dengan judul: Pengaruh iman terhadap nama Allah “Ar Rozzaq”.
Sumber Artikel :
http://muslim.or.id/aqidah/memahami-allah-maha-pemberi-rizki.html
Source : http://islam-download.net/artikel-islami/memahami-allah-maha-pemberi-rizki.html

KEUTAMAAN SHALAT DHUHA

Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah, Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada suri tauladan kita, Nabi MuhammadShallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang setia mengikutinya sampai datang hari kiamat, amin.
Para pembaca yang dirahmati Allah Ta’ala, dalam edisi ini insya Allah akan kami uraikan perkara yang berkaitan dengan shalat Dhuha. Semoga sedikit yang disampaikan ini bisa menggugah hati kita untuk mau membiasakan diri melaksanakannya, amin.
DEFINISI DAN KEUTAMAANNYA
Dhuha secara bahasa artinya waktu terbitnya matahari atau naiknya matahari. Sedangkan menurut istilah ahli fiqih, dhuha adalah waktu antara naiknya matahari sampai menjelang zawal (tergelincir matahari). Jadi shalat Dhuha artinya shalat sunnah yang dilakukan pada waktu antara naiknya matahari sampai menjelang zawal.
Banyak hadist yang menjelaskan tentang keutamaan shalat Dhuha, diantaranya hadist dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Setiap ruas jari salah seorang di antara kalian wajib untuk disedekahi setiap hari. Maka setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, mengajak kepada kebaikan adalah sedekah, dan mencegah dari kemungkaran juga sedekah. Dan semua itu bisa tercukupi (setara) dengan dua raka’at yang dia lakukan di waktu Dhuha.”[1]
Dalam hadist yang lain, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Dalam tubuh manusia ada 360 ruas tulang. Maka wajib baginya setiap hari untuk menyedekahi atas masing-masing ruas tulang tadi dengan suatu sedekah.” Para sahabat bertanya, ‘Siapa yang mampu melakukannya, wahai Rasulullah?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dahak yang kamu lihat di dalam masjid lalu kami menimbunnya, atau sesuatu yang (mengganggu) kamu singkirkan dari jalan (termasuk sedekah), kemudian apabila kamu tidak mampu, maka dua raka’at di waktu Dhuha sudah mencukupi bagimu.” [2]
Dalam hadist yang lain dijelaskan :
“Shalatnya orang yang bertaubat adalah ketika anak unta mencari tempat yang teduh.” [3]
HUKUM SHALAT DHUHA
Ulama berselisih pendapat tentang hukum shalat Dhuha :
1. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa shalat Dhuha hukumnya sunnah secara mutlak, dan sebaiknya seseorang bisa membiasakannya setiap hari. Mereka berdalil beberapa hadist, diantaranya :
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata : “Kekasih saya (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah berwasiat kepada saya dengan tiga perkara : Puasa tiga hari dalam setiap bulan, shalat dua raka’at di waktu Dhuha, dan shalat Witir sebelum tidur.” [4]
Dan juga keumuman hadist yang menjelaskan keutamaan shalat dhuha, khususnya hadist yang menjelaskan bahwa shalat Dhuha bisa mengganti kewajiban sedekah atas setiap ruas tulang setiap harinya.
Dan juga keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang dikerjakan secara berkelanjutan meskipun sedikit.” [5]
2. Disunnahkan dilakukan kadang-kadang, tidak terus menerus. Diantara dalil yang dipakai pendapat ini adalah :
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata : “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Dhuha sampai-sampai kami mengatakan beliau tidak meninggalkannya. Dan beliau juga meninggalkan shalat Dhuha sampai-sampai kami mengatakan beliau tidak mengerjakannya.” [6]
Fulan bin Jarud berkata kepada Anas radhiyallahu ‘anhu : “Apakah Nabi shalat Dhuha ?” Dia menjawab, “Saya tidak melihat beliau melakukan shalat Dhuha selain hari tersebut.” [7]
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata : “Sungguh apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu amalan padahal beliau senang melakukannya, maka itu karena beliau khawatir manusia akan ikut melakukannya lalu diwajibkan atas meraka. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melaksanakan shalat Dhuha sama sekali, tapi aku sendiri sungguh melakukannya.” [8]
3. Tidak disunnahkan kecuali apabila ada sebabnya, seperti ketika seseorang luput shalat malam maka disunnahkan baginya untuk mengqadha’-nya diwaktu Dhuha. Diantara dalil yang menunjukkan pendapat ini :
a. Apa yang diceritakan Ummu Hani’ bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk rumahnya pada waktu Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah), lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dan shalat delapan raka’at di waktu Dhuha.[9]
Mereka mengatakan :’Shalat delapan raka’at yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebabkan oleh Fathu Makkah, dan kebetulan dilakukan di waktu Dhuha’.
b. Kisah shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah ‘Itban bin Malik ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diundang datang ke rumahnya untuk melaksanakan shalat, yang akhirnya tempat shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dijadikan sebagai musholla (tempat shalat), dan shalat yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertepatan di waktu Dhuha.[10]
c. Aisyah radhiyallahu ‘anha menjelaskan ketika ditanya Abdullah bin Syaqiq : “Apakah RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat Dhuha ?” maka dia menjawab, “Tidak, kecuali apabila beliauShallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari bepergian.”[11]
Dari tiga pendapat diatas, pendapat yang lebih mendekati kebenaran insya Allah pendapat yang pertama, yaitu disunnahkan shalat Dhuha secara mutlak, dan juga disunnahkan untuk dibiasakan setiap hari, berdasarkan keumuman hadist yang memberikan dorongan untuk melaksanakan shalat Dhuha. Terlebih lagi hadist yang menjelaskan bahwa shalat Dhuha bisa menggantikan 360 sedekah atas ruas tulang manusia yang setiap harinya wajid disedekahi.
Adapun berkaitan dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau tidak membiasakannya setiap hari, maka ini bukan berarti shalat Dhuha tidak disyari’atkan. Sebab kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambukanlah merupakan syarat disyar’atkannya suatu amalan. Oleh karena itulah Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata :“Dan tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat Dhuha sama sekali, tapi aku sendiri benar-benar melakukannya.”[12]
WAKTU DAN JUMLAH RAKA’AT
Waktu shalat Dhuha diawali sejak naiknya matahari, yaitu sekitar ¼ jam setelah munculnya matahari sampai menjelang zawal (tergelincirnya matahari), selagi belum masuk waktu terlarang untuk shalat. Dan sebaiknya seseorang yang ingin melaksanakan shalat Dhuha agar mengakhirkan waktunya sampai sengatan terik matahari terasa panas, berdasarkan hadist Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Shalatnya orang-orang yang bertaubat adalah ketika anak unta mencari tempat yang teduh.” Dan ini biasanya terjadi menjelang zawal.
Shalat Dhuha minimalnya dua raka’at, tanpa ada perselisihan di kalangan ulama. Hal ini berdasarkan hadist yang disampaikan di muka : “Dan semua itu bisa tercukupi (setara) dengan dua raka’at yang di lakukan di waktu Dhuha.”[13] dan juga berdasarkan wasiatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Hurairahradhiyallahu ‘anhu untuk tidak meninggalkan dua raka’at di waktu Dhuha.
Namun mereka berselisih pendapat tentang batas maksimalnya. Ada yang berpendapat maksimal adalah delapan raka’at, berdasarkan hadist dari Abdurrahman bin Abin Laila radhiyallahu ‘anhu dia berkata : “Tidak ada seorang pun yang mengabarkan kepada saya bahwasanya dia melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat Dhuha kecuali Ummu Hani’. Sesungguhnya dia menceritakan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk rumahnya pada waktu Fathu Makkah, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat delapan raka’at [14]
Dan ada yang berpendapat maksimalnya dua belas raka’at, berdasarkan hadist dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa shalat Dhuha dua belas raka’at, maka Allah akan membangunkan istana untuknya di surga kelak.”[15]
Dan diantara mereka ada yang berpendapat tidak ada batas maksimalnya. Dan inilah pendapat yang lebih benarinsya Allah, berdasarkan hadist dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata : “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Dhuha empat raka’at dan beliau menambah (jumlah raka’atnya) sesuai kehendak Allah.” [16]
Adapun penjelasan Ummu Hani’ bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat delapan raka’at pada saatFathu Makkah, maka sebagian ulama menjelaskan bahwa shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamwaktu itu adalah shalat Fath, bukan shalat Dhuha. Anggaplah shalat itu adalah shalat Dhuha, maka jumlah delapan raka’at yang dilakukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tidak menunjukkan pembatasan, tapi merupakan kejadian tertentu atau kebetulan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalatnya delapan raka’at.
Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber: Majalah Almawaddah, vol. 36 Edisi Khusus Dzulhijjah 1431 H-Muharram 1432 H, November 2010 –Januari 2011
Artikel: http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2011/02/22/shalat-dhuha-shalatnya-orang-orang-yang-bertaubat/
________________________________________
[1] HR. Muslim 720
[2] HR. Abu Dawud 5242 dan Ahmad 5/354
[3] HR. Muslim 748
[4] HR. al-Bukhari 1178 dan Muslim 721
[5] HR. al-Bukhari 43 dan Muslim 785
[6] HR. at-Tirmidzi 477, didho’ifkan Syaikh al-Albani rahimahullah dalam al-Irwa’ 460
[7] HR. al-Bukhari 670
[8] HR. al-Bukhari 1128 dan Muslim 718
[9] Shahih Bukhari 1103 dan Muslim 336
[10] Shahih Bukhari 670
[11] Shahih Muslim 717
[12] HR. al-Bukhari dan Muslim
[13] HR. Muslim 720
[14] HR. al-Bukhari 1176
[15] HR. at-Tirmidzi 473, didho’ifkan Syaikh al-Albani rahimahullah
[16] HR. Muslim 719
Source : http://islam-download.net/artikel-islami/keutamaan-shalat-dhuha.html

KEUTAMAAN MEMBACA AL-QUR'AN

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Apakah salah seorang dari kalian suka jika ketika dia kembali kepada isterinya, di rumahnya dia mendapati tiga ekor unta yang sedang bunting lagi gemuk-gemuk?” Kami menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Tiga ayat yang dibaca oleh salah seorang dari kalian di dalam shalatnya adalah lebih baik daripada ketiga ekor unta yang bunting dan gemuk itu.” (HR. Muslim no. 802)
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitabullah maka baginya satu kebaikan dan satu kebaikan itu senilai dengan sepuluh kebaikan. Aku tidak mengatakan ALIF LAAM MIIM itu satu huruf, akan tetapi ALIF satu huruf, LAAM satu huruf, dan MIIM satu huruf.” (HR. At-Tirmizi no. 2910 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Takhrij Ath-Thahawiah no. 158)
Dari ‘Aisyah radhiallahu anhda dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Orang yang mahir membaca Al-Qur`an, maka kedudukannya di akhirat bersama para malaikat yang mulia lagi baik. Sementara orang yang membaca Al-Qur`an dengan tertatah-tatah dan dia sulit dalam membacanya, maka dia mendapatkan dua pahala.”(HR. Muslim no. 798)
Penjelasan ringkas:
Al-Qur`an adalah firman (ucapan) Allah dan dia merupakan zikir yang paling utama. Karenanya, walaupun Al-Qur`an bersama sunnah keduanya adalah wahyu, akan tetapi Allah Ta’ala memberikan pahala khusus kepada setiap orang yang membaca Al-Qur`an, yang pahala ini tidak sama besarnya dengan yang didapatkan orang yang membaca hadits, walaupun itu hadits qudsi.
Yaitu bahwa setiap huruf dari Al-Qur`an bernilai minimal 10 pahala, dan bisa lebih daripada itu sampai 700 kali lipat berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma riwayat Al-Bukhari dan Muslim tentang pelipatgandaan pahala.
Selain keutamaan berupa pahala itu, Allah Ta’ala menambahkan keutamaan besar lainnya, yaitu bahwa orang yang mahir (lancar dan benar) dalam membaca Al-Qur`an akan ditempatkan bersama para malaikat yang mulia. Adapun bagi mereka yang baru belajar Al-Qur`an sehingga masih kesulitan dalam membacanya, maka bagi mereka dua pahala: Pahala atas bacaannya dan pahala yang kedua atas kesusahan yang dia alami.
Berikut beberapa dalil lainnya tentang keutamaan membaca dan mempelajari Al-Qur`an:
Dari Umar radhiallahu anhu secara marfu’:
“Sesungguhnya Allah mengangkat dengan Al-Qur`an ini sebagian kaum dan merendahkan sebagian lainnya juga dengannya.” (HR. Muslim no. 817)
Dari Utsman bin Affan radhiallahu anhu secara marfu’:
“Yang terbaik di antara kalian adalah yang mempelajari Al-Qur`an dan yang mengajarkannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5027)
Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiallahu anhu secara marfu’:
“Akan dikatakan kepada para penghafal Al-Qur`an, “Bacalah dan naiklah ke atas. Bacalah dengan tartil sebagaimana dulu kamu di dunia membacanya dengan tartil. Karena jenjang kamu (di surga) berada di akhir ayat yang dulu kamu biasa baca.” (HR. Ahmad no. 6796 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 8122)
Source : http://al-atsariyyah.com/keutamaan-membaca-al-quran.html
Source : http://islam-download.net/artikel-islami/keutamaan-membaca-al-quran.html

CARA-CARA SHALAT TAHAJJUD

Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Ada beberapa kiat yang dapat membantu seseorang untuk bangun di malam hari guna melakukan shalat Tahajjud. Di antaranya adalah.
[1]. Mengetahui keutamaan shalat Tahajjud dan kedudukan orang yang melakukannya di sisi Allah Ta’ala serta segala apa yang disediakan baginya berupa kebahagiaan di dunia dan akhirat, bagi mereka disediakan Surga.
Allah Ta’ala bersaksi terhadap mereka dengan kesempurnaan iman, dan tidak sama antara mereka dengan orang-orang yang tidak mengetahui. Shalat Tahajjud sebagai sebab masuk ke dalam Surga, ditinggikannya derajat di dalamnya, dan shalat Tahajjud merupakan sifat hamba-hamba Allah yang shalih serta kemuliaan bagi seorang Mukmin.
[2]. Mengetahui perangkap syaitan dan usahanya agar manusia tidak melakukan shalat malam.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai seorang laki-laki yang tidur hingga datang waktu fajar,
“Itulah seseorang yang syaitan telah kencing di telinganya -atau beliau bersabda- di kedua telinganya.” [1]
‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma mengatakan, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“Wahai ‘Abdullah, jangan kamu menjadi seperti si fulan, dahulu ia biasa melakukan shalat malam, kemudian meninggalkannya” [2]
[3]. Memendekkan angan-angan dan banyak mengingat mati.
Hal ini dapat memberi semangat untuk beramal dan dapat menghilangkan rasa malas, berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang yang asing atau orang yang sedang menyeberangi jalan.”
Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma mengatakan, “Apabila berada di pagi hari, janganlah engkau menunggu waktu sore. Dan apabila berada di sore hari, janganlah engkau menunggu waktu pagi. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, dan pergunakan waktu hidupmu sebelum datang kematianmu.” [3]
[4]. Tidur di awal malam agar memperoleh kekuatan dan semangat yang dapat membantu untuk melakukan shalat Tahajjud dan shalat Shubuh.
Hal ini berdasarkan hadits Abu Barzah radhiyallaahu ‘anhu.
“Bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya’ dan berbincang-bincang setelahnya.”[4]
[5]. Mempergunakan kesehatan dan waktu luang (dengan melakukan amal shalih) agar pahala kebaikannya tetap ditulis pada saat ia sakit atau sedang safar.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
“Apabila seorang hamba sakit atau safar, ditulislah baginya pahala perbuatan yang biasa ia lakukan ketika mukim dan sehat.” [5]
Maka orang yang berakal hendaklah tidak terluput dari keutamaan yang agung ini. Hendaklah ia melakukan shalat Tahajjud ketika sedang sehat dan memiliki waktu luang serta melakukan berbagai amal shalih sehingga ditulislah pahala baginya apabila ia lemah atau sibuk dari melakukan amal kebaikan yang biasa ia lakukan.
[6]. Bersungguh-sungguh mengamalkan adab-adab sebelum tidur.
Yaitu, dengan tidur dalam keadaan suci, apabila masih mempunyai hadats hendaklah ia berwudhu’ dan shalat sunnah dua raka’at, membaca dzikir sebelum tidur, mengumpulkan kedua telapak tangannya lalu ditiupkan serta dibacakan padanya surat al-Ikhlaash, al-Falaaq, dan an-Naas. Kemudian usaplah dengan kedua tangannya itu seluruh anggota badan yang dapat dijangkaunya (lakukan hal ini tiga kali). Jangan lupa juga membaca ayat Kursi, dua ayat terakhir dari surat al-Baqarah, dan membaca do’a sebelum tidur. Dia juga harus melakukan berbagai sebab yang dapat membangunkannya untuk shalat, seperti meletakkan jam weker di dekat kepalanya atau dengan berpesan kepada keluarganya atau temannya atau tetangganya untuk membangunkannya.
[7]. Memperhatikan sejumlah sebab yang dapat membantu untuk melakukan shalat Tahajjud.
Yaitu, dengan tidak terlalu banyak makan, tidak membuat badannya lelah dengan melakukan pekerjaan yang tidak bermanfaat, bahkan seharusnya ia mengatur pekerjaannya yang bermanfaat, tidak meninggalkan tidur siang karena itu dapat membantu bangun di malam hari, dan menjauhi dosa dan maksiyat. Disebutkan dari Sufyan ats-Tsauri rahimahullaah beliau berkata, “Selama lima bulan aku terhalang untuk melakukan shalat malam karena dosa yang aku lakukan.” [6]
[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
__________
Foote Notes
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1144, 3270) dan Muslim (no. 774), dari Shahabat Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1152) dan Muslim (no. 1159 (187)).
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6416), Ahmad (II/24, 132), at-Tirmidzi (no. 2333), Ibnu Majah (no. 4114), dan al-Baihaqi (III/369).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 568) dan Muslim (no. 461), lafazh ini milik al-Bukhari.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2996), dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu
[6]. Lihat kitab Qiyaamul Lail, Fadhluhu wa Aadaabuhu wal Asbaabul Mui’iinatu ‘alaihi fii Dhau-il Kitaabi was Sunnah (hal. 50-58).
Sumber : http://almanhaj.or.id/content/2359/slash/0
Source : http://islam-download.net/artikel-islami/kiat-agar-dapat-melakukan-shalat-tahajjud.html

CIRI-CIRI PENDUDUK SYURGA

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan surga bagi hamba-hamba yang beriman dan menciptakan neraka bagi orang-orang kafir. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada nabi dan rasul akhir zaman, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du.
Berikut ini adalah sebagian ciri-ciri dan karakter orang-orang yang dijanjikan oleh Allah mendapatkan surga beserta segala kenikmatan yang ada di dalamnya, yang sama sekali belum pernah terlihat oleh mata, belum terdengar oleh telinga, dan belum terlintas dalam benak manusia. Semoga Allah menjadikan kita termasuk di antara penduduk surga-Nya.
1. Beriman dan beramal salih
Allah ta’ala berfirman,
“Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih bahwasanya mereka akan mendapatkan balasan berupa surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai…” (Qs. al-Baqarah: 25)
Ibnu Abi Zaid al-Qairawani rahimahullah mengatakan,
“Iman adalah ucapan dengan lisan, keikhlasan dengan hati, dan amal dengan anggota badan. Ia bertambah dengan bertambahnya amalan dan berkurang dengan berkurangnya amalan. Sehingga amal-amal bisa mengalami pengurangan dan ia juga merupakan penyebab pertambahan -iman-. Tidak sempurna ucapan iman apabila tidak disertai dengan amal. Ucapan dan amal juga tidak sempurna apabila tidak dilandasi oleh niat -yang benar-. Sementara ucapan, amal, dan niat pun tidak sempurna kecuali apabila sesuai dengan as-Sunnah/tuntunan.” (Qathfu al-Jani ad-Dani karya Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, hal. 47)
al-Baghawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu bahwa yang dimaksud amal salih adalah mengikhlaskan amal. Maksudnya adalah bersih dari riya’. Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu mengatakan, “Amal salih adalah yang di dalamnya terdapat empat unsur: ilmu, niat yang benar, sabar, dan ikhlas.” (Ma’alim at-Tanzil [1/73] as-Syamilah)
2. Bertakwa
Allah ta’ala berfirman,
“Bagi orang-orang yang bertakwa terdapat balasan di sisi Rabb mereka berupa surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, begitu pula mereka akan mendapatkan istri-istri yang suci serta keridhaan dari Allah. Allah Maha melihat hamba-hamba-Nya.” (Qs. Ali Imran: 15)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menguraikan jati diri orang bertakwa. Mereka itu adalah orang-orang yang bertakwa kepada Rabb mereka. Mereka menjaga diri dari siksa-Nya dengan cara melakukan apa saja yang diperintahkan Allah kepada mereka dalam rangka menaati-Nya dan karena mengharapkan balasan/pahala dari-Nya. Selain itu, mereka meninggalkan apa saja yang dilarang oleh-Nya juga demi menaati-Nya serta karena khawatir akan tertimpa hukuman-Nya (Majalis Syahri Ramadhan, hal. 119 cet Dar al-’Aqidah 1423 H).
Termasuk dalam cakupan takwa, yaitu dengan membenarkan berbagai berita yang datang dari Allah dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan syari’at, bukan dengan tata cara yang diada-adakan (baca: bid’ah). Ketakwaan kepada Allah itu dituntut di setiap kondisi, di mana saja dan kapan saja. Maka hendaknya seorang insan selalu bertakwa kepada Allah, baik ketika dalam keadaan tersembunyi/sendirian atau ketika berada di tengah keramaian/di hadapan orang (lihat Fath al-Qawiy al-Matin karya Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah, hal. 68 cet. Dar Ibnu ‘Affan 1424 H)
an-Nawawi rahimahullah menjelaskan, salah satu faktor pendorong untuk bisa menumbuhkan ketakwaan kepada Allah adalah dengan senantiasa menghadirkan keyakinan bahwasanya Allah selalu mengawasi gerak-gerik hamba dalam segala keadaannya (Syarh al-Arba’in, yang dicetak dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 142 cet Markaz Fajr dan Ulin Nuha lil Intaj al-I’lami)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah memaparkan bahwa keberuntungan manusia itu sangat bergantung pada ketakwaannya. Oleh sebab itu Allah memerintahkan (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah, mudah-mudahan kamu beruntung. Dan jagalah dirimu dari api neraka yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Qs. Ali Imron: 130-131). Cara menjaga diri dari api neraka adalah dengan meninggalkan segala sesuatu yang menyebabkan terjerumus ke dalamnya, baik yang berupa kekafiran maupun kemaksiatan dengan berbagai macam tingkatannya. Karena sesungguhnya segala bentuk kemaksiatan -terutama yang tergolong dosa besar- akan menyeret kepada kekafiran, bahkan ia termasuk sifat-sifat kekafiran yang Allah telah menjanjikan akan menempatkan pelakunya di dalam neraka. Oleh sebab itu, meninggalkan kemaksiatan akan dapat menyelamatkan dari neraka dan melindunginya dari kemurkaan Allah al-Jabbar. Sebaliknya, berbagai perbuatan baik dan ketaatan akan menimbulkan keridhaan ar-Rahman, memasukkan ke dalam surga dan tercurahnya rahmat bagi mereka (Taisir al-Karim ar-Rahman [1/164] cet Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengimbuhkan, bahwa tercakup dalam ketakwaan bahkan merupakan derajat ketakwaan yang tertinggi- adalah dengan melakukan berbagai perkara yang disunnahkan (mustahab) dan meninggalkan berbagai perkara yang makruh, tentu saja apabila yang wajib telah ditunaikan dan haram ditinggalkan (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 211 cet Dar al-Hadits 1418 H)
Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan riwayat dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, Mu’adz ditanya tentang orang-orang yang bertakwa. Maka beliau menjawab, “Mereka adalah suatu kaum yang menjaga diri dari kemusyrikan, peribadahan kepada berhala, dan mengikhlaskan ibadah mereka hanya untuk Allah.” al-Hasan mengatakan, “Orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang menjauhi perkara-perkara yang diharamkan Allah kepada mereka dan menunaikan kewajiban yang diperintahkan kepada mereka.” Umar bin Abdul Aziz rahimahullah juga menegaskan bahwa ketakwaan bukanlah menyibukkan diri dengan perkara yang sunnah namun melalaikan yang wajib. Beliau rahimahullah berkata, “Ketakwaan kepada Allah bukan sekedar dengan berpuasa di siang hari, sholat malam, dan menggabungkan antara keduanya. Akan tetapi hakikat ketakwaan kepada Allah adalah meninggalkan segala yang diharamkan Allah dan melaksanakan segala yang diwajibkan Allah. Barang siapa yang setelah menunaikan hal itu dikaruni amal kebaikan maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan.” Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Takwa adalah kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena mengharapkan pahala dari Allah, serta kamu meninggalkan kemaksiatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena takut hukuman Allah.” (dinukil dari Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 211 cet Dar al-Hadits 1418 H)
Pokok dan akar ketakwaan itu tertancap di dalam hati. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Pada hakikatnya ketakwaan yang sebenarnya itu adalah ketakwaan dari dalam hati, bukan semata-mata ketakwaan anggota tubuh. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu dikarenakan barang siapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu semua muncul dari ketakwaan yang ada di dalam hati.” (Qs. al-Hajj: 32). Allah juga berfirman (yang artinya), “Tidak akan sampai kepada Allah daging-daging dan darah-darah -hewan kurban itu-, akan tetapi yang akan sampai kepada Allah adalah ketakwaan dari kalian.” (Qs. al-Hajj: 37). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketakwaan itu sumbernya di sini.” Seraya beliau mengisyaratkan kepada dadanya (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).” (al-Fawa’id, hal. 136 cet. Dar al-’Aqidah 1425 H)
Namun, perlu diingat bahwa hal itu bukan berarti kita boleh meremehkan amal-amal lahir, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Petunjuk yang paling sempurna adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara itu, beliau adalah orang yang telah menunaikan kedua kewajiban itu -lahir maupun batin- dengan sebaik-baiknya. Meskipun beliau adalah orang yang memiliki kesempurnaan dan tekad serta keadaan yang begitu dekat dengan pertolongan Allah, namun beliau tetap saja menjadi orang yang senantiasa mengerjakan sholat malam sampai kedua kakinya bengkak. Bahkan beliau juga rajin berpuasa, sampai-sampai dikatakan oleh orang bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berjihad di jalan Allah. Beliau pun berinteraksi dengan para sahabatnya dan tidak menutup diri dari mereka. Beliau sama sekali tidak pernah meninggalkan amalan sunnah dan wirid-wirid di berbagai kesempatan yang seandainya orang-orang yang perkasa di antara manusia ini berupaya untuk melakukannya niscaya mereka tidak akan sanggup melakukan seperti yang beliau lakukan. Allah ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk menunaikan syari’at-syari’at Islam dengan perilaku lahiriyah mereka, sebagaimana Allah juga memerintahkan mereka untuk mewujudkan hakikat-hakikat keimanan dengan batin mereka. Salah satu dari keduanya tidak akan diterima, kecuali apabila disertai dengan ‘teman’ dan pasangannya…” (al-Fawa’id, hal. 137 cet. Dar al-’Aqidah 1425 H)
3. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya
Allah ta’ala berfirman,
“Barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (Qs. an-Nisa’: 13)
Allah ta’ala berfirman tentang mereka,
“Sesungguhnya ucapan orang-orang yang beriman itu ketika diseru untuk patuh kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul itu memutuskan perkara di antara mereka maka jawaban mereka hanyalah, ‘Kami dengar dan kami taati’. Hanya mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Qs. an-Nur: 51)
Allah ta’ala menyatakan,
“Barang siapa taat kepada Rasul itu maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (Qs. An-Nisaa’ : 80)
Allah ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul, ketika menyeru kalian untuk sesuatu yang akan menghidupkan kalian. Ketahuilah, sesungguhnya Allah yang menghalangi antara seseorang dengan hatinya. Dan sesungguhnya kalian akan dikumpulkan untuk bertemu dengan-Nya.” (Qs. al-Anfal: 24)
Ketika menjelaskan kandungan pelajaran dari ayat ini, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya kehidupan yang membawa manfaat hanyalah bisa digapai dengan memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang tidak muncul pada dirinya istijabah/sikap memenuhi dan mematuhi seruan tersebut maka tidak ada kehidupan sejati padanya. Meskipun sebenarnya dia masih memiliki kehidupan ala binatang yang tidak ada bedanya antara dia dengan hewan yang paling rendah sekalipun. Oleh sebab itu kehidupan yang hakiki dan baik adalah kehidupan pada diri orang yang memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya secara lahir dan batin. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar hidup, walaupun tubuh mereka telah mati. Adapun selain mereka adalah orang-orang yang telah mati, meskipun badan mereka masih hidup. Oleh karena itulah maka orang yang paling sempurna kehidupannya adalah yang paling sempurna di antara mereka dalam memenuhi seruan dakwah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya di dalam setiap ajaran yang beliau dakwahkan terkandung unsur kehidupan sejati. Barang siapa yang luput darinya sebagian darinya maka itu artinya dia telah kehilangan sebagian unsur kehidupan, dan di dalam dirinya mungkin masih terdapat kehidupan sekadar dengan besarnya istijabahnya terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (al-Fawa’id, hal. 85-86 cet. Dar al-’Aqidah)
4. Cinta dan Benci karena Allah
Allah ta’ala berfirman,
“Tidak akan kamu jumpai suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkasih sayang kepada orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya meskipun mereka itu adalah bapak-bapak mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, maupun sanak keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang ditetapkan Allah di dalam hati mereka dan Allah kuatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya, Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Mereka itulah golongan Allah, ketahuilah sesungguhnya hanya golongan Allah itulah orang-orang yang beruntung.” (Qs. al-Mujadalah: 22)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa yang mencintai karena Allah. Membenci karena Allah. Memberi karena Allah. Dan tidak memberi juga karena Allah. Maka sungguh dia telah menyempurnakan imannya.” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud [10/181] as-Syamilah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai aku lebih dicintainya daripada orang tua dan anak-anaknya.” (HR. Bukhari)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ciri keimanan yaitu mencintai kaum Anshar, sedangkan ciri kemunafikan yaitu membenci kaum Anshar.” (HR. Bukhari)
5. Berinfak di kala senang maupun susah
Allah ta’ala berfirman,
“Bersegeralah menuju ampunan Rabb kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang menginfakkan hartanya di kala senang maupun di kala susah, orang-orang yang menahan amarah, yang suka memaafkan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Dan orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri mereka sendiri maka mereka pun segera mengingat Allah lalu meminta ampunan bagi dosa-dosa mereka, dan siapakah yang mampu mengampuni dosa selain Allah. Dan mereka juga tidak terus menerus melakukan dosanya sementara mereka mengetahuinya.” (Qs. Ali Imron: 133-135)
Membelanjakan harta di jalan Allah merupakan ciri orang-orang yang bertakwa. Allah ta’ala berfirman,
“Alif lam mim. Ini adalah Kitab yang tidak ada keraguan padanya. Petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang beriman kepada perkara gaib, mendirikan sholat, dan membelanjakan sebagian harta yang Kami berikan kepada mereka.” (Qs. al-Baqarah: 1-3)
Syaikh as-Sa’di memaparkan, infak yang dimaksud dalam ayat di atas mencakup berbagai infak yang hukumnya wajib seperti zakat, nafkah untuk istri dan kerabat, budak, dan lain sebagainya. Demikian juga ia meliputi infak yang hukumnya sunnah melalui berbagai jalan kebaikan. Di dalam ayat di atas Allah menggunakan kata min yang menunjukkan makna sebagian, demi menegaskan bahwa yang dituntut oleh Allah hanyalah sebagian kecil dari harta mereka, tidak akan menyulitkan dan memberatkan bagi mereka. Bahkan dengan infak itu mereka sendiri akan bisa memetik manfaat, demikian pula saudara-saudara mereka yang lain. Di dalam ayat tersebut Allah juga mengingatkan bahwa harta yang mereka miliki merupakan rezki yang dikaruniakan oleh Allah, bukan hasil dari kekuatan mereka semata. Oleh sebab itu Allah memerintahkan mereka untuk mensyukurinya dengan cara mengeluarkan sebagian kenikmatan yang diberikan Allah kepada mereka dan untuk berbagi rasa dengan saudara-saudara mereka yang lain (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman [1/30] cet. Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)
6. Memiliki hati yang selamat
Allah ta’ala berfirman,
“Pada hari itu -hari kiamat- tidak bermanfaat lagi harta dan keturunan, melainkan bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (Qs. as-Syu’ara: 88-89)
Abu Utsman an-Naisaburi rahimahullah mengatakan tentang hakikat hati yang selamat, “Yaitu hati yang terbebas dari bid’ah dan tenteram dengan Sunnah.” (disebutkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya [6/48] cet Maktabah Taufiqiyah)
Imam al-Baghawi rahimahullah mengatakan bahwa hakikat hati yang selamat itu adalah, “Hati yang bersih dari syirik dan keragu-raguan. Adapun dosa, maka tidak ada seorang pun yang bisa terbebas darinya. Ini adalah pendapat mayoritas ahli tafsir.” (Ma’alim at-Tanzil [6/119], lihat juga Tafsir Ibnu Jarir at-Thabari [19/366] as-Syamilah)
Imam al-Alusi rahimahullah juga menyebutkan bahwa terdapat riwayat dari para ulama salaf seperti Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, Ibnu Sirin, dan lain-lain yang menafsirkan bahwa yang dimaksud hati yang selamat adalah, “Hati yang selamat dari penyakit kekafiran dan kemunafikan.” (Ruh al-Ma’ani [14/260] as-Syamilah)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Pengertian paling lengkap tentang makna hati yang selamat itu adalah hati yang terselamatkan dari segala syahwat yang menyelisihi perintah Allah dan larangan-Nya. Hati yang bersih dari segala macam syubhat yang bertentangan dengan berita dari-Nya. Oleh sebab itu, hati semacam ini akan terbebas dari penghambaan kepada selain-Nya. Dan ia akan terbebas dari tekanan untuk berhukum kepada selain Rasul-Nya…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15 cet. Dar Thaibah)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Hati yang selamat artinya yang bersih dari: kesyirikan, keragu-raguan, mencintai keburukan, dan terus menerus dalam bid’ah dan dosa-dosa. Konsekuensi bersihnya hati itu dari apa-apa yang disebutkan tadi adalah ia memiliki sifat-sifat yang berlawanan dengannya. Berupa keikhlasan, ilmu, keyakinan, cinta kebaikan dan memandang indah kebaikan itu di dalam hati, dan juga kehendak dan kecintaannya pun mengikuti kecintaan Allah, hawa nafsunya tunduk mengikuti apa yang datang dari Allah.” (Taisir al-Karim ar-Rahman hal. 592-593 cet. Mu’assasah ar-Risalah)
Ibnul Qayyim rahimahullah juga menjelaskan karakter si pemilik hati yang selamat itu, “… apabila dia mencintai maka cintanya karena Allah. Apabila dia membenci maka bencinya karena Allah. Apabila dia memberi maka juga karena Allah. Apabila dia mencegah/tidak memberi maka itupun karena Allah…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15 cet. Dar Thaibah)
Demikianlah sekelumit yang bisa kami tuangkan dalam lembaran ini. Semoga bermanfaat bagi yang menulis, membaca maupun yang menyebarkannya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Yogyakarta, 21 Sya’ban 1430 H
Hamba yang sangat membutuhkan Rabbnya
Abu Mushlih Ari Wahyudi
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Sumber Artikel:
http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/ciri-ciri-penduduk-surga.html
Source : http://islam-download.net/artikel-islami/ciri-ciri-penduduk-surga.html